Your number here :)

Jumat, 23 Agustus 2013

Harusnya Kamu Mengerti

yang aku permasalahkan sedikitpun bukan mengenai simbol itu, simbol yang pasti ada pada setiap insan. cinta. Tidak, aku tak sedikitpun mengubah simbol itu untukmu. aku hanya ingin melihat dari sisi yang berbeda tentang simbol yang ku maksud. sisi dimana aku dapat menilai bukan berdasarkan egoku, tapi perasaan. bukan mau ku untuk membelah menjadi dua simbol itu, namun terkadang aku tidak begitu faham dengan maksud bumbu-bumbu yang tertabur olehmu diatas simbol-simbol itu. seperti kecurigaan, satu atau dua kali tak akan menyebabkan hal besar membombardir fikiranku dengan jangka waktu yang cukup panjang, namun jika berulang itu mungkin saja terjadi seperti saat ini. lidah ini kelu untuk berkata, tapi aku tak dapat diam saja membiarkan kehitaman kabut menyelimuti hal yang sebenarnya sehingga tersamarkan. kamu seakan mewajibkan atas kejujuran, memang tak salah. maka aku akan bertanya, seberapa kuat kamu dapat menahan tusukan-tusukan prasangka yang sebenarnya itu tak terjadi?
meski sudah berulang kali aku katakan, berulang aku jelaskan. tak sedikitpun kamu mengerti apa yang ku maksudkan. sebenarnya ini bukan masalah pada kata-kata yang ku berikan. tapi bagaimana cara kamu memahami keadaan yang memang sedang berlangsung bahkan yang akan datang? bagaimana kamu menyikapi? apa tak pernah sedikit pun kamu belajar dari masa silam?
terkadang tak sedikitpun aku mengerti jalan fikiran yang melayang-layang di atas kepalamu. terkadang aku tak memiliki sepatah kata pun untuk ku sampaikan, terlebih lagi ketika perasaan sedang meracau. karena apa? aku merasa sudah tak sanggup lagi merangkai kata untuk memberikanmu sebuah titik terang untuk dapat fahami maksudku. seakan lidahku kering terlampau banyak berkata.
bumbu tertabur lain yang tak kalah ku perhatikan adalah kecemasan. siapapun pasti akan senang mendapat perlakuan untuk di cemaskan. ya. ini memang menandakan suatu kepedulian. tapi bagaimana jika sampai kecemasan itu tak berujung? mungkin aku akan bertanya. siapa yang tak geram jika telah mengeringkan lidahnya hanya untuk menghilangkan bumbu ini tapi tak sampai pada titik reda? dan itu terulang setiap harinya bahkan lebih dari satu kali. tidak. jangan fikirkan aku tak membutuhkan bumbu ini, aku butuh. sangat butuh. namun tidak dengan frekuensi sesering ini.
aku tak dapat menyebutkan semua bumbu dalam resep rahasia simbol kita. tapi semata-mata aku hanya ingin melihat dari sisi lain di kejauhan untuk kembali lagi. takkan pernah selamanya menjauh karna itu tak mungkin aku lakukan mengingat besarnya simbol itu tertanam di pekarangan kalbuku. tak pernah kah kamu sekali saja perhatikan ketika aku mengatakannya di gelapnya malam itu? kalau kamu izinkan aku bertanya, aku akan bertanya dimana kamu hidup? siapa saja yang kamu butuhkan? apakah kamu bisa hidup hanya dengan modal simbol ini tanpa orang lain? sedang dalam tahap apa kamu sekarang? apa tujuan mu? kamu harus memperhatikan mereka. hidup itu seperti kumpulan simbol-simbol. tentu tak dapat kamu bertahan dengan egomu untuk mementingkan atau memprioritaskan satu simbol dalam hidup mu saja! jangan kamu hapuskan sedikitpun akan ingatan yang satu ini. aku mohon mengertilah segores rasaku yang tertumpah disini. fahamilah akar dari semua inang, setiap inang berpeluang untuk menumbuhkan parasit yang akan menghancurkan. mengertilah hidup tak selalu lurus, tak selalu bahagia, terkadang sebatang pohon tak selalu harus hidup utuh dengan bagiannya. terkadang mereka akan menjadi lebih indah bila bersatu dengan tangkai yang lain. namun mereka tak dapat sekenanya memasangkan siapa yang akan disilangkan dengannya, semua ada yang mengatur, tentunya yang lebih berdaya dari mereka. jangan terlampau salah faham dengan kata-kataku, aku rasa telingamu sudah tak asing dengan kata-kata baik sangka, aku harap kamu mengerti.https://www.facebook.com/mariyatul.qibtiyah2

Rabu, 14 Agustus 2013

CERPEN



Minggu Kelam

Dinginnya minggu pagi yang menusuk tulangku, angin yang berhembus melalui jendela kamar kesayanganku, ditemani kicauan burung dan  mentari pagi di ufuk timur yang harusnya membuatku bersemangat menyambut hari, namun aku seperti seorang yang buta, aku tak dapat melihat semuanya dengan nyata, mungkin hanya sebatas bayangan yang lantas hilang tergantikan oleh awan kelabu,  perasaanku tak secerah cuaca pagi itu.
‘’aaah! entahlah, apa yang kufikirkan?’’ racauan hatiku semakin meleburkan fikiranku.
Didalam lamunan yang membingungkan tiba-tiba mataku membelalak, kemudian menyipit, mendengar  suara bel rumahku berbunyi.
‘’siapa yang datang pagi-pagi begini?’’ fikirku penasaran.
Ku dengar gemerincing kunci tampak membuka pintu depan rumah. Ya. Ibuku yang membukakannya. Ku buka pintu kamarku sedikit untuk melihat siapa yang datang dan melihatnya dengan mata sebelah kananku.
‘’ah, tetangga sebelah ternyata’’, ucapku menanggapi.
‘’ferinda sayang, bangun nak!’’, terdengar suara ibu mendekat.
Ah, ternyata tamunya sudah pergi fikirku.
‘’iya buu.. Ferinda sudah bangun kok dari tadi malah sebelum ibu bangunin’’, timpalku sambil membukakan pintu kamar kepada ibu ku dan menyambutnya dengan senyum.
‘’anak ibu.. mau ikut ibu keluar?’’ sahutnya dengan lembut.
‘’ngapain bu? Tumben banget ngajak aku keluar pagi. Apa ibu sudah selesai menyiapkan sarapan pagi ini?’’, tanyaku heran karena tak biasanya ibu berlaku seperti itu sebelumnya padaku.
‘’Melihat matahari’’, spontanitas ibu ku menjawab dengan senyumnya yang merekah.
Aku hanya bisa melongo mendengar ucapan konyol ibu ku itu. Entah banyolan atau hanya sekedar nyeplos saja.
Dirumah aku tinggal berdua bersama ibu, kebetulan 1 tahun yang lalu ayahku mengalami kecelakaan yang merenggut nyawanya ketika perjalanan bisnisnya. Sebenarnya  sudah lebih dari 1 tahun ku lewati tanpa sesosok ayah di kehidupanku, namun aku masih belum percaya atas kepergian ayah. Memang ironi, ketika aku sedang sangat membutuhkan kasih sayang kedua orang tua khususnya ayahku, tapi aku sudah tak dapat merasakannya semenjak kecelakaan itu. Sementara kakak ku yang sekarang kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di Jawa tengah sudah beberapa bulan tidak pulang kerumah. Padahal dia kakak perempuanku satu-satunya, dia adalah kakak terbaik yang aku miliki. Dia sangat hebat, cita-citanya ingin menjadi duta besar agar nanti bisa pergi ke Jepang. Yang membuat aku menantikan kedatangannya salah satunya karena dia selalu membawakan coklat kesukaanku. Mmmm.. terbanyang lezat dibenakku. Aku adalah seorang anak bungsu yang terbilang sangat manja tapi cuek yang kadang bisa menjadi seorang psikopat, terlebih lagi jika sedang hilang selera, walaupun usiaku sudah menginjak remaja SMA.
Rekatan pintu depan yang terbuka oleh ibu membuat sinar mentari pagi yang cerah menerobos masuk menerangi seisi rumahku. Aku tertunduk, mataku terpejam, tanganku menghindarkan mataku dari terangnya cahaya mentari pagi itu.
‘’wah cerah sekali pagi ini bu’’, ucapku sambil merengutkan alis mataku.
‘’Coba kamu lihat matahari itu, bentuknya bulat dengan pijaran cahayanya. Kamu harus senang melihatnya selagi kamu bisa. Kamu harus bersinar kelak seperti mentari itu nak, ibu akan sangat senang jika kamu berhasil meraih cita-citamu menjadi seorang yang sukses. Oya, hari ini kakakmu Destifa akan pulang’’, jelas ibu dengan wajah berbinar.
Yang tadinya hanya ekspresi datar saja yang ku munculkan, akan tetapi setelah mendengar ucapan ibuku barusan, sontak aku menjadi sangat senang dan penuh antusias mendengarkan ibuku berbicara. Lagi lagi terbayang lezatnya coklat difikiranku. Hehehe.. sedikit mengurangi lamunan yang membingungkanku pagi ini.
‘’Serius buuu?’’, tanyaku gemas ingin tahu sambil menggenggam erat tangan kiri ibuku yang sedari tadi aku gandeng.
‘’iya sayang, ibu tadi menerima telepon dari kakak mu sesaat setelah paman kamu pergi’’, jawab ibu.
‘’paman? Kapan paman kemari? Dan untuk apa?’’, beberapa petanyaan mencecar ibu karena keherananku.
‘’sekitar pukul 6 pagi tadi sebelum kamu bangun dari tidur’’, jawab ibu.
‘’ kubilang kan aku sudah bangun sebelum ibu membangunkanku’’, sanggahku sedikit manja.
‘’aku kira itu tetangga sebelah, aduh benar-benar kacau mata dan fikiranku’’, aku meracau sendiri menanggapi perkataan ibu.
Begitulah sikap ibuku pagi itu. Karena kedatangan kak Destifa segala sesuatu kami persiapkan, mulai dari membersihkan kamar untuknya sampai memasak hidangan-hidangan  lezat. Hingga waktunya tiba, tepat pukul 5 sore hari itu, kak Destifa memberi  kabar kepada ibu kalau dia sebentar lagi turun di stasiun. Dengan nanar yang nampak seperti  baru saja mendapat sesuatu yang membuat hati ibuku senang, dengan antusias ibuku bergegas pergi menyusul kak Destifa di stasiun.
Entah mengapa meskipun inginku kak Destifa segera pulang dengan coklat lezatnya, namun seolah aku sendiri tak mengizinkan ibuku untuk pergi menjemput kakak. Ketika jemari ibu nyaris bersentuhan dengan gagang pintu, secepat kilat aku meraih tangan ibuku. Raut wajahku yang semula bebinar nampaknya melayu ketika aku tahu ibu akan pergi untuk menjemput kak Destifa. Entah apa yang membuatku seperti itu,namun yang aku rasakan kebingunganku di pagi hari seakan kembali menerpaku kali ini. Ya, saat ibu hendak pergi.
‘’emmm… ibu…’’, rasanya sesuatu merekatkan bibirku untuk berbicara.
‘’iya Ferinda yang paling ibu sayang’’
Tatapanku kosong, mendengar rangkaian kata sederhana yang terucap dari bibir seorang wanita yang mengurusiku semenjak aku kecil. Fikirku melayang entah kemana. Aku pun tak tahu apa yang sedang aku fikirkan dan aku rasakan. Yang pasti batinku seolah memaksaku  membuatnya untuk tetap tinggal di rumah sederhana ini.
‘’ada pa nak? Ibu harus segera menjemput kakakmu, mungkin sekarang ia sudah menunggu di stasiun’’, sahut ibuku menyadarkanku dalam khayal. Terbata-bata aku menimpalinya, dan dengan berat aku lepas tangan ibu dan membiarkannya pergi.
‘’aku sayang ibu!’’, teriakku ketika ibu mulai menjauh menampakkan punggungnya. Hanya lengkungan senyum yang aku lihat dikejauhan yang semakin ku rindukan walaupun baru beberapa detik saja aku menerima senyuman manis ibu sore hari ini.
Detik, menit, jam kulalui dalam penantian. Betapa senangnya ketika ku bayangkan kakak tercintaku akan datang meramaikan suasana rumah. Siang berganti malam. Jam-jam dalam penantian perlahan menjadi sebuah kecemasan dalam diriku.
‘’ pukul 8.30? hampir pukul 9 malam? Apa selama ini perjalanan bolak-balik dari rumahku ke stasiun?’’, pertanyaan ku mulai memburu.
Malam itu sepi sekali, hanya terdengar suara kendaraan yang melewati rumahku, itupun jarang. Aku sendirian menunggu mereka dalam cemas yang mulai meresahkan. Inisiatifku untuk menghubungi ibu melalui ponselnya.
‘’kriiiing.. kriiing..’’.
‘’aahh sial! Ibu meninggalkan ponselnya’’. Aku pun makin tak karuan hingga sebuah ilham menghampiriku dalam fikiranku yang makin buntu.
‘’paman! Ya, aku harus menghubunginya!’’. Ketika jari-jariku satu persatu menyentuh tombol-tombol yang ada di telfon rumahku tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Senang sekali akhirnya ibu dan kak Destifa datang fikirku. Aku pun memutuskan untuk membukakan pintu terlebih dahulu. Namun sayang seorang lelaki paruh baya yang tak ku kenal yang berdiri tepat di depanku itu meleburkan asaku.
‘’ahh… ku kira ibu dan kak Destifa’’, kataku dalam hati menunjukkan kekecewaanku.
‘’apa ini Rumah bu Lida?’’, Tanya lelaki paruh baya itu yang entah siapa namanya.
Pertanyaann ambigu yang dilemparkan lelaki itu membuat bulu kudukku berdiri. Aku sudah memikirkan hal yang macam-macam tentang kekhawatiranku akan jam-jam terakhir ini.
‘’i..iya. memang ada keperluan apa ya? Tapi maaf sebelumnya bapak siapa ya?’’, tanyaku dengan nada sedikit terbata-bata. Aku berusaha mendengarkan apa yang ia samapaikan dengan serius karena terlihat dari raut wajahnya menandakan berita yang akan ia sampaikan amatlah penting.
‘’Maaf de, tapi adek harus tenang ya. Adek anaknya kan? Begini, pukul 06.00 terjadi kecelakaan dan merenggut nyawa ibu dan kakak adek,  adek harus tabah ya’’, ucap lelaki paruh baya itu tergesa-gesa.
‘’ibuuuu..! kakaaak..!’’ jeritku dalam hati. Tak terasa air mata yang meleleh telah membasahi kedua pipi ini. Mungkin aku hanya bermimpi, mungkin orang ini hanya ingin mengerjaiku, mungkin, mungkin dan mungkin yang ada dalam fikiranku saat itu. Aku tak percaya ibu dan kakakku menjadi korban dalam sebuah kecelakaan malam ini, dan mereka telah meninggalkanku untuk selamanya. Aku tersudut sendiri dalam kesedihan, dan ketakutan. Aku terlalu lemah untuk hidup tanpa mereka. Aku tak habis fikir, beberapa jam yang lalu ibuku masih bisa tersenyum padaku. Akupun hanya bisa menangis sejadinya kala itu.
Esok hari setelah pemakaman ibu dan kakakku berlangsung. Dalam keadaan masih sangat syok aku berusaha menegarkan diri semampuku, namun apa daya waktu itu aku masih belum bisa mengendalikan emosiku. Aku hanya bisa melamun, tak ada hal yang bisa kulakukan. Kejadian hari kemarin tentang sikap ibuku di rumah mengahmpiriku saat aku dalam lamunan. Namun, suara pamanku, yaitu paman Dito menyadarkanku dari lamunan duka itu seketika merangkulku dengan kasih sayang.
‘’Ferinda, paman tahu betapa syoknya kamu. Kamu harus kuat ya ferinda keponakan om, paman akan selalu ada buat Ferinda. Sekarang apapun kebutuhan Ferinda, apa yang Ferinda inginkan bilang saja sama om ya..’’, begitulah paman berucap untuk menenangkanku.
Kala itu aku seolah mendapat kekuatan baru. Aku ingat kata-kata ibu di hari sebelum beliau meninggalkanku di dunia fana ini, kata-kata itu seolah menjadi kekuatan untukku dan selalu terngiang di benakku.
‘’ ’Coba kamu lihat matahari itu, bentuknya bulat dengan pijaran cahayanya. Kamu harus senang melihatnya selagi kamu bisa. Kamu harus bersinar kelak seperti mentari itu nak, ibu akan sangat senang jika kamu berhasil meraih cita-citamu menjadi seorang yang sukses’’
‘’ya aku bisa, aku harus bisa walaupun harus berjuang sendiri’’, yakinku dalam hati.
‘’Iya paman, terimakasih sudah mau mengurusku. Aku beruntung punya paman, aku sayang paman. Tapi paman, tolong bantu aku untuk menjalani hidup ini, meraih semua yang aku cita-citakan. Paman mau kan?’’.
‘’Apapun itu Ferinda, untukmu’’, paman meyakinkanku.
Empat tahun sudah sepeninggal ibu dan kakakku, aku tak sadar mataku meleleh di hari aku berwisuda di Universitas tempatku menuntut ilmu Kedokteran dengan perjuangan keras bersama pamanku.
‘’Ferinda, inilah harimu. Hari kemenanganmu’’, ucap paman sambil merangkulku dengan penuh rasa bangga.
‘’iya paman, tapi tanpa sesosok ayah, tanpa sesosok ibu, dan tanpa sesosok kakak’’. Air mataku semakin deras membasahi pipi.
‘’Ayah, ibu, kakak aku sudah menamatkan pendidikanku. Kalian bisa lihat aku kan? Kesuksesanku sudah di depan mata’’, teriakku dalam batin bak ingin menyampaikan kabar itu pada mereka.
‘’Andai saja ayah, ibu dan kakak masih ada. Kalian bisa melihat aku sukses seperti sekarang. Do’akan aku ya semua, besok adalah hari yang sangat penting buatku, aku akan meninggalkan tempat tinggal kita, aku akan terbang bersama burung besi untuk memenuhi tugasku sebagai seorang dokter di negeri Sakura. Untuk kakak, andai kau masih disini, aku akan mengajakmu pergi kesana. Bukankah kakak ingin sekali pergi ke Negeri itu?’’, aku menulis di halaman tengah buku diaryku, kemudian memeluknya erat sebelum kepergianku ke Negeri Sakura.

Kamis, 01 Agustus 2013

CERPEN




Sesal Senja

‘’Han, ibu boleh minta bantuannya sebentar?’’, teriak ibu di kejauhan.
‘’Iya bu sebentar, masih banyak tugas nih yang harus ku kerjakan’’, Jihan menimpali seadanya.
***
            Akhir pekan ini menjadi hari yang menyibukkan untuk perempuan bungsu dari tiga bersaudara itu. Mungkin karena posisinya sebagai anak bungsu mampu menjadikan Jihan sebagai seorang anak yang terbilang manja. Bukan lagi sibuk karena mengerjakan tugasnya di masa putih-biru, sampai kerap kali menunda apa yang ibunya minta, kali ini seisi rumah disibukkan untuk mempersiapkan keberangkatannya. Remaja berumur lima belas tahun, tentu lima belas tahun pula lamanya ia tinggal dengan kasih sayang kedua orang tuanya juga fasilitas yang selama ini memanjakan hidupnya.
            Tapi hari ini Jihan harus menanggalkan itu semua untuk pergi melanjutkan pendidikannya ke kota tetangga. Tentu menjadi suatu hal yang menyedihkan ketika seseorang berpisah dengan keluarga yang selama ini menyayanginya, apalagi bagi seorang Jihan yang memang menyandang predikat sebagai anak manja di keluarganya. Kali ini yang ada di benaknya bukan masalah jauh atau dekat ia berada, tapi Jihan harus benar-benar merasakan kenyataan sesungguhnya ketika berada jauh dari istana kecilnya. Rasanya di kepala Jihan penuh dengan bayangan yang berkelebatan di fikiran yang membuatnya merasa sesak. Tak lebih dari separuh hari lagi, Jihan harus benar-benar meninggalkan semua orang yang menyayanginya. Ya. Ibu, ayah, juga ketiga saudara Jihan di rumah.
***
            Jihan merasakan sakit di rahangnya, menyaksikan jaraknya yang sepersekian d
esan air mata yang selalu Jihan coba bendung di pelupuk matanya. Seperti tak berarti banyak, akhirnya deras air mata yang mengalir tak dapat terhentikan. Tak ingin kedua orang tuanya melihat Jihan sedang menitikkan air mata, seketika Jihan menepisnya dengan tergesa. Berkali Jihan menepis, mungkin orang tua Jihan pun menyadari apa yang dilakukan anak bungsunya itu. Ayah Jihan mencairkan suasana dengan candaan yang biasa beliau buat ketika besama anak-anaknya. Sisa perjalanan mereka nikmati dengan titir dan gelak tawa.
            Apa artinya harap yang di panjatkan Jihan agar tak cepat sampai ke tempat tinggal barunya.Asrama. Akhirnya sebuah gapura bertuliskan MAN 2 Kota Serang nyata di hadapannya. Entah mengapa, bagi  Jihan sepertinya saat ini mengangkat kaki untuk beranjak dari mobil terasa lebih berat dibandingkan harus membantu ibu mengangkat galon air yang kadang ibu serukan kepadanya di akhir pekan.
‘’Nak, mungkin ibu dan ayah harus pulang sekarang, kamu harus hati-hati menjaga diri, harus jadi anak yang rajin. Dan satu lagi, gak boleh cengeng!’’, tukas ibu beberapa saat sebelum meninggalkan Jihan di boarding MAN 2 Kota Serang.

                                                                        ***
            Malam pertama Jihan di tempat yang ia juluki semi penjara suci ini menyisakan bayang dalam lamunan. Seorang Jihan yang dijuluki si cengeng di rumahnya tiba-tiba ber-qiyamullail malam itu. Entah apa yang ada di fikirannya. Selaras dengan gelar yang ia dapat, Jihan menangis sepanjang malam saat ber-qiyamullail menyisakan matanya yang sembab di pagi harinya.
‘’Han, kamu nangis?’’, tanya Rifa sambil memerhatikan mata Jihan sedari tadi.
‘’hmm... ‘’, hanya erangan yang nyaris tak terdengar yang keluar dari bibir kecilnya.Tangis jihan pecah lagi kala itu.
            Beberapa pekan Jihan lalui bersama teman barunya di sana. Saat menjelang senja di waktu luang. Teringat akan seruan ibu di tengah-tengah kesibukan masa putih-birunya, seperti ingin memutar  beberapa waktu kebelakang tepat saat ibunya berseru meminta bantuan. Kembali Jihan menitikkan air mata di atas sesalnya.


_END_