Sesal Senja
‘’Han, ibu
boleh minta bantuannya sebentar?’’, teriak ibu di kejauhan.
‘’Iya bu
sebentar, masih banyak tugas nih yang harus ku kerjakan’’, Jihan menimpali
seadanya.
***
Akhir pekan ini menjadi hari yang
menyibukkan untuk perempuan bungsu dari tiga bersaudara itu. Mungkin karena
posisinya sebagai anak bungsu mampu menjadikan Jihan sebagai seorang anak yang
terbilang manja. Bukan lagi sibuk karena mengerjakan tugasnya di masa
putih-biru, sampai kerap kali menunda apa yang ibunya minta, kali ini seisi
rumah disibukkan untuk mempersiapkan keberangkatannya. Remaja berumur lima
belas tahun, tentu lima belas tahun pula lamanya ia tinggal dengan kasih sayang
kedua orang tuanya juga fasilitas yang selama ini memanjakan hidupnya.
Tapi hari ini Jihan harus
menanggalkan itu semua untuk pergi melanjutkan pendidikannya ke kota tetangga.
Tentu menjadi suatu hal yang menyedihkan ketika seseorang berpisah dengan
keluarga yang selama ini menyayanginya, apalagi bagi seorang Jihan yang memang
menyandang predikat sebagai anak manja di keluarganya. Kali ini yang ada di
benaknya bukan masalah jauh atau dekat ia berada, tapi Jihan harus benar-benar
merasakan kenyataan sesungguhnya ketika berada jauh dari istana kecilnya. Rasanya
di kepala Jihan penuh dengan bayangan yang berkelebatan di fikiran yang
membuatnya merasa sesak. Tak lebih dari separuh hari lagi, Jihan harus
benar-benar meninggalkan semua orang yang menyayanginya. Ya. Ibu, ayah, juga
ketiga saudara Jihan di rumah.
***
Jihan merasakan sakit di rahangnya,
menyaksikan jaraknya yang sepersekian d
esan air
mata yang selalu Jihan coba bendung di pelupuk matanya. Seperti tak berarti
banyak, akhirnya deras air mata yang mengalir tak dapat terhentikan. Tak ingin
kedua orang tuanya melihat Jihan sedang menitikkan air mata, seketika Jihan
menepisnya dengan tergesa. Berkali Jihan menepis, mungkin orang tua Jihan pun
menyadari apa yang dilakukan anak bungsunya itu. Ayah Jihan mencairkan suasana
dengan candaan yang biasa beliau buat ketika besama anak-anaknya. Sisa
perjalanan mereka nikmati dengan titir dan gelak tawa.
Apa artinya harap yang di panjatkan
Jihan agar tak cepat sampai ke tempat tinggal barunya.Asrama. Akhirnya sebuah
gapura bertuliskan MAN 2 Kota Serang nyata di hadapannya. Entah mengapa,
bagi Jihan sepertinya saat ini
mengangkat kaki untuk beranjak dari mobil terasa lebih berat dibandingkan harus
membantu ibu mengangkat galon air yang kadang ibu serukan kepadanya di akhir
pekan.
‘’Nak, mungkin ibu dan ayah harus pulang sekarang, kamu harus hati-hati menjaga diri, harus jadi anak yang rajin. Dan satu lagi, gak boleh cengeng!’’, tukas ibu beberapa saat sebelum meninggalkan Jihan di boarding MAN 2 Kota Serang.
‘’Nak, mungkin ibu dan ayah harus pulang sekarang, kamu harus hati-hati menjaga diri, harus jadi anak yang rajin. Dan satu lagi, gak boleh cengeng!’’, tukas ibu beberapa saat sebelum meninggalkan Jihan di boarding MAN 2 Kota Serang.
***
Malam pertama Jihan di tempat yang
ia juluki semi penjara suci ini menyisakan bayang dalam lamunan. Seorang Jihan
yang dijuluki si cengeng di rumahnya tiba-tiba ber-qiyamullail malam itu. Entah
apa yang ada di fikirannya. Selaras dengan gelar yang ia dapat, Jihan menangis
sepanjang malam saat ber-qiyamullail menyisakan matanya yang sembab di pagi
harinya.
‘’Han, kamu
nangis?’’, tanya Rifa sambil memerhatikan mata Jihan sedari tadi.
‘’hmm... ‘’, hanya erangan yang nyaris tak terdengar yang keluar dari bibir kecilnya.Tangis jihan pecah lagi kala itu.
‘’hmm... ‘’, hanya erangan yang nyaris tak terdengar yang keluar dari bibir kecilnya.Tangis jihan pecah lagi kala itu.
Beberapa pekan Jihan lalui bersama
teman barunya di sana. Saat menjelang senja di waktu luang. Teringat akan
seruan ibu di tengah-tengah kesibukan masa putih-birunya, seperti ingin
memutar beberapa waktu kebelakang tepat
saat ibunya berseru meminta bantuan. Kembali Jihan menitikkan air mata di atas
sesalnya.
_END_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar