Minggu Kelam
Dinginnya minggu pagi yang menusuk tulangku,
angin yang berhembus melalui jendela kamar kesayanganku, ditemani kicauan
burung dan mentari pagi di ufuk timur
yang harusnya membuatku bersemangat menyambut hari, namun aku seperti seorang
yang buta, aku tak dapat melihat semuanya dengan nyata, mungkin hanya sebatas
bayangan yang lantas hilang tergantikan oleh awan kelabu, perasaanku tak secerah cuaca pagi itu.
‘’aaah! entahlah, apa yang kufikirkan?’’
racauan hatiku semakin meleburkan fikiranku.
Didalam lamunan yang membingungkan
tiba-tiba mataku membelalak, kemudian menyipit, mendengar suara bel rumahku berbunyi.
‘’siapa yang datang pagi-pagi begini?’’
fikirku penasaran.
Ku dengar gemerincing kunci tampak membuka
pintu depan rumah. Ya. Ibuku yang membukakannya. Ku buka pintu kamarku sedikit
untuk melihat siapa yang datang dan melihatnya dengan mata sebelah kananku.
‘’ah, tetangga sebelah ternyata’’, ucapku
menanggapi.
‘’ferinda sayang, bangun nak!’’, terdengar
suara ibu mendekat.
Ah, ternyata tamunya sudah pergi fikirku.
‘’iya buu.. Ferinda sudah bangun kok dari
tadi malah sebelum ibu bangunin’’, timpalku sambil membukakan pintu kamar
kepada ibu ku dan menyambutnya dengan senyum.
‘’anak ibu.. mau ikut ibu keluar?’’
sahutnya dengan lembut.
‘’ngapain bu? Tumben banget ngajak aku
keluar pagi. Apa ibu sudah selesai menyiapkan sarapan pagi ini?’’, tanyaku
heran karena tak biasanya ibu berlaku seperti itu sebelumnya padaku.
‘’Melihat matahari’’, spontanitas ibu ku
menjawab dengan senyumnya yang merekah.
Aku hanya bisa melongo mendengar ucapan
konyol ibu ku itu. Entah banyolan atau hanya sekedar nyeplos saja.
Dirumah aku tinggal berdua bersama ibu,
kebetulan 1 tahun yang lalu ayahku mengalami kecelakaan yang merenggut nyawanya
ketika perjalanan bisnisnya. Sebenarnya sudah lebih dari 1 tahun ku lewati tanpa
sesosok ayah di kehidupanku, namun aku masih belum percaya atas kepergian ayah.
Memang ironi, ketika aku sedang sangat membutuhkan kasih sayang kedua orang tua
khususnya ayahku, tapi aku sudah tak dapat merasakannya semenjak kecelakaan
itu. Sementara kakak ku yang sekarang kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri
di Jawa tengah sudah beberapa bulan tidak pulang kerumah. Padahal dia kakak
perempuanku satu-satunya, dia adalah kakak terbaik yang aku miliki. Dia sangat
hebat, cita-citanya ingin menjadi duta besar agar nanti bisa pergi ke Jepang. Yang
membuat aku menantikan kedatangannya salah satunya karena dia selalu membawakan
coklat kesukaanku. Mmmm.. terbanyang lezat dibenakku. Aku adalah seorang anak bungsu
yang terbilang sangat manja tapi cuek yang kadang bisa menjadi seorang psikopat,
terlebih lagi jika sedang hilang selera, walaupun usiaku sudah menginjak remaja
SMA.
Rekatan pintu depan yang terbuka oleh ibu
membuat sinar mentari pagi yang cerah menerobos masuk menerangi seisi rumahku.
Aku tertunduk, mataku terpejam, tanganku menghindarkan mataku dari terangnya
cahaya mentari pagi itu.
‘’wah cerah sekali pagi ini bu’’, ucapku
sambil merengutkan alis mataku.
‘’Coba kamu lihat matahari itu, bentuknya
bulat dengan pijaran cahayanya. Kamu harus senang melihatnya selagi kamu bisa.
Kamu harus bersinar kelak seperti mentari itu nak, ibu akan sangat senang jika
kamu berhasil meraih cita-citamu menjadi seorang yang sukses. Oya, hari ini
kakakmu Destifa akan pulang’’, jelas ibu dengan wajah berbinar.
Yang tadinya hanya ekspresi datar saja yang
ku munculkan, akan tetapi setelah mendengar ucapan ibuku barusan, sontak aku
menjadi sangat senang dan penuh antusias mendengarkan ibuku berbicara. Lagi
lagi terbayang lezatnya coklat difikiranku. Hehehe.. sedikit mengurangi lamunan
yang membingungkanku pagi ini.
‘’Serius buuu?’’, tanyaku gemas ingin tahu
sambil menggenggam erat tangan kiri ibuku yang sedari tadi aku gandeng.
‘’iya sayang, ibu tadi menerima telepon
dari kakak mu sesaat setelah paman kamu pergi’’, jawab ibu.
‘’paman? Kapan paman kemari? Dan untuk
apa?’’, beberapa petanyaan mencecar ibu karena keherananku.
‘’sekitar pukul 6 pagi tadi sebelum kamu
bangun dari tidur’’, jawab ibu.
‘’ kubilang kan aku sudah bangun sebelum ibu
membangunkanku’’, sanggahku sedikit manja.
‘’aku kira itu tetangga sebelah, aduh
benar-benar kacau mata dan fikiranku’’, aku meracau sendiri menanggapi
perkataan ibu.
Begitulah sikap ibuku pagi itu. Karena
kedatangan kak Destifa segala sesuatu kami persiapkan, mulai dari membersihkan
kamar untuknya sampai memasak hidangan-hidangan lezat. Hingga waktunya tiba, tepat pukul 5
sore hari itu, kak Destifa memberi kabar
kepada ibu kalau dia sebentar lagi turun di stasiun. Dengan nanar yang nampak
seperti baru saja mendapat sesuatu yang
membuat hati ibuku senang, dengan antusias ibuku bergegas pergi menyusul kak
Destifa di stasiun.
Entah mengapa meskipun inginku kak Destifa
segera pulang dengan coklat lezatnya, namun seolah aku sendiri tak mengizinkan
ibuku untuk pergi menjemput kakak. Ketika jemari ibu nyaris bersentuhan dengan
gagang pintu, secepat kilat aku meraih tangan ibuku. Raut wajahku yang semula
bebinar nampaknya melayu ketika aku tahu ibu akan pergi untuk menjemput kak
Destifa. Entah apa yang membuatku seperti itu,namun yang aku rasakan kebingunganku
di pagi hari seakan kembali menerpaku kali ini. Ya, saat ibu hendak pergi.
‘’emmm… ibu…’’, rasanya sesuatu merekatkan
bibirku untuk berbicara.
‘’iya Ferinda yang paling ibu sayang’’
Tatapanku kosong, mendengar rangkaian kata
sederhana yang terucap dari bibir seorang wanita yang mengurusiku semenjak aku
kecil. Fikirku melayang entah kemana. Aku pun tak tahu apa yang sedang aku
fikirkan dan aku rasakan. Yang pasti batinku seolah memaksaku membuatnya untuk tetap tinggal di rumah
sederhana ini.
‘’ada pa nak? Ibu harus segera menjemput
kakakmu, mungkin sekarang ia sudah menunggu di stasiun’’, sahut ibuku
menyadarkanku dalam khayal. Terbata-bata aku menimpalinya, dan dengan berat aku
lepas tangan ibu dan membiarkannya pergi.
‘’aku sayang ibu!’’, teriakku ketika ibu
mulai menjauh menampakkan punggungnya. Hanya lengkungan senyum yang aku lihat
dikejauhan yang semakin ku rindukan walaupun baru beberapa detik saja aku menerima
senyuman manis ibu sore hari ini.
Detik, menit, jam kulalui dalam penantian.
Betapa senangnya ketika ku bayangkan kakak tercintaku akan datang meramaikan
suasana rumah. Siang berganti malam. Jam-jam dalam penantian perlahan menjadi
sebuah kecemasan dalam diriku.
‘’ pukul 8.30? hampir pukul 9 malam? Apa
selama ini perjalanan bolak-balik dari rumahku ke stasiun?’’, pertanyaan ku
mulai memburu.
Malam itu sepi sekali, hanya terdengar
suara kendaraan yang melewati rumahku, itupun jarang. Aku sendirian menunggu
mereka dalam cemas yang mulai meresahkan. Inisiatifku untuk menghubungi ibu
melalui ponselnya.
‘’kriiiing.. kriiing..’’.
‘’aahh sial! Ibu meninggalkan ponselnya’’.
Aku pun makin tak karuan hingga sebuah ilham menghampiriku dalam fikiranku yang
makin buntu.
‘’paman! Ya, aku harus menghubunginya!’’.
Ketika jari-jariku satu persatu menyentuh tombol-tombol yang ada di telfon
rumahku tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Senang sekali akhirnya ibu dan kak
Destifa datang fikirku. Aku pun memutuskan untuk membukakan pintu terlebih
dahulu. Namun sayang seorang lelaki paruh baya yang tak ku kenal yang berdiri
tepat di depanku itu meleburkan asaku.
‘’ahh… ku kira ibu dan kak Destifa’’,
kataku dalam hati menunjukkan kekecewaanku.
‘’apa ini Rumah bu Lida?’’, Tanya lelaki
paruh baya itu yang entah siapa namanya.
Pertanyaann ambigu yang dilemparkan lelaki
itu membuat bulu kudukku berdiri. Aku sudah memikirkan hal yang macam-macam
tentang kekhawatiranku akan jam-jam terakhir ini.
‘’i..iya. memang ada keperluan apa ya? Tapi
maaf sebelumnya bapak siapa ya?’’, tanyaku dengan nada sedikit terbata-bata. Aku
berusaha mendengarkan apa yang ia samapaikan dengan serius karena terlihat dari
raut wajahnya menandakan berita yang akan ia sampaikan amatlah penting.
‘’Maaf de, tapi adek harus tenang ya. Adek
anaknya kan? Begini, pukul 06.00 terjadi kecelakaan dan merenggut nyawa ibu dan
kakak adek, adek harus tabah ya’’, ucap
lelaki paruh baya itu tergesa-gesa.
‘’ibuuuu..! kakaaak..!’’ jeritku dalam
hati. Tak terasa air mata yang meleleh telah membasahi kedua pipi ini. Mungkin
aku hanya bermimpi, mungkin orang ini hanya ingin mengerjaiku, mungkin, mungkin
dan mungkin yang ada dalam fikiranku saat itu. Aku tak percaya ibu dan kakakku
menjadi korban dalam sebuah kecelakaan malam ini, dan mereka telah
meninggalkanku untuk selamanya. Aku tersudut sendiri dalam kesedihan, dan
ketakutan. Aku terlalu lemah untuk hidup tanpa mereka. Aku tak habis fikir,
beberapa jam yang lalu ibuku masih bisa tersenyum padaku. Akupun hanya bisa
menangis sejadinya kala itu.
Esok hari setelah pemakaman ibu dan kakakku
berlangsung. Dalam keadaan masih sangat syok aku berusaha menegarkan diri
semampuku, namun apa daya waktu itu aku masih belum bisa mengendalikan emosiku.
Aku hanya bisa melamun, tak ada hal yang bisa kulakukan. Kejadian hari kemarin
tentang sikap ibuku di rumah mengahmpiriku saat aku dalam lamunan. Namun, suara
pamanku, yaitu paman Dito menyadarkanku dari lamunan duka itu seketika merangkulku
dengan kasih sayang.
‘’Ferinda, paman tahu betapa syoknya kamu.
Kamu harus kuat ya ferinda keponakan om, paman akan selalu ada buat Ferinda.
Sekarang apapun kebutuhan Ferinda, apa yang Ferinda inginkan bilang saja sama
om ya..’’, begitulah paman berucap untuk menenangkanku.
Kala itu aku seolah mendapat kekuatan baru.
Aku ingat kata-kata ibu di hari sebelum beliau meninggalkanku di dunia fana
ini, kata-kata itu seolah menjadi kekuatan untukku dan selalu terngiang di
benakku.
‘’ ’Coba kamu lihat matahari itu, bentuknya
bulat dengan pijaran cahayanya. Kamu harus senang melihatnya selagi kamu bisa.
Kamu harus bersinar kelak seperti mentari itu nak, ibu akan sangat senang jika
kamu berhasil meraih cita-citamu menjadi seorang yang sukses’’
‘’ya aku bisa, aku harus bisa walaupun
harus berjuang sendiri’’, yakinku dalam hati.
‘’Iya paman, terimakasih sudah mau
mengurusku. Aku beruntung punya paman, aku sayang paman. Tapi paman, tolong
bantu aku untuk menjalani hidup ini, meraih semua yang aku cita-citakan. Paman
mau kan?’’.
‘’Apapun itu Ferinda, untukmu’’, paman
meyakinkanku.
Empat tahun sudah sepeninggal ibu dan
kakakku, aku tak sadar mataku meleleh di hari aku berwisuda di Universitas
tempatku menuntut ilmu Kedokteran dengan perjuangan keras bersama pamanku.
‘’Ferinda, inilah harimu. Hari
kemenanganmu’’, ucap paman sambil merangkulku dengan penuh rasa bangga.
‘’iya paman, tapi tanpa sesosok ayah, tanpa
sesosok ibu, dan tanpa sesosok kakak’’. Air mataku semakin deras membasahi
pipi.
‘’Ayah, ibu, kakak aku sudah menamatkan
pendidikanku. Kalian bisa lihat aku kan? Kesuksesanku sudah di depan mata’’,
teriakku dalam batin bak ingin menyampaikan kabar itu pada mereka.
‘’Andai
saja ayah, ibu dan kakak masih ada. Kalian bisa melihat aku sukses seperti
sekarang. Do’akan aku ya semua, besok adalah hari yang sangat penting buatku,
aku akan meninggalkan tempat tinggal kita, aku akan terbang bersama burung besi
untuk memenuhi tugasku sebagai seorang dokter di negeri Sakura. Untuk kakak,
andai kau masih disini, aku
akan mengajakmu pergi kesana. Bukankah kakak ingin sekali pergi ke Negeri
itu?’’, aku menulis di halaman tengah buku diaryku,
kemudian memeluknya erat sebelum kepergianku ke Negeri Sakura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar